Selasa, 14 September 2010

PEMUJA GENGSI V.S KAUM MALAMATIYAH

Potret Realitas Ego oleh Kaum Sofionis
(oleh: Abdurroqib Al-Haq*)
Pembahasan Gengsi adalah pembahasan monoton sejak zaman yang tak dikenal arkeolog. Wibawa, prestise, kehormatan, dan muru’ah menjadi topik utama oleh kaum pemuja gengsi. Jika Siddhartha Buddha Gautama adalah orang nomer satu dalam agama Budha, dan Kong Hu-Cu adalah orang pertama pengembang sistem memadukan alam pikiran dan kepercayaan orang Cina, kemudian James Clerk Maxwell merupakan tokoh utama tentang penjelasan hukum dasar listrik dan magnit, Antoine Henri Becquerel orang pertama yang menemukan radio, maka dalam hal “gengsi” mungkin Iblis adalah tokoh utamanya, yang telah menentukan sikap tegas dan lugas pada Allah bahwa ia tidak mau menyembah Adam yang tercipta dari tanah.
Pada dasarnya pemuja “gengsi” hanya karena tidak ingin dikatakan hina, rendah, dan lebih jelek dari orang lain. Men-definisi-kan dirinya orang yang sempurna, atau sadar dirinya hina namun bagaimana orang lain harus tidak tahu kekurangan dirinya sehingga dirinya tetap berada di rentetan teratas pada tangga pujian manusia adalah menjadi target ideal versi mereka. Bagi mereka, cacian orang lain dan tidak mendapat jatah kehormatan dalam memapaki garis duniawi tak ubahnya disayat belati.
Demi luka abstrak yang dapat menyesakkan dada mereka ini, bukan hal aneh jika mereka berkata : …. saya itu “gengsian”…! Saya bisa mengatakan ‘ia’, sekalipun kenyataannya ‘tidak’ demi gengsi. Dan saya berani menyatakan ‘tidak’ sekalipun hati saya ‘ia’ demi gengsi. Bahkan konon Abu Tholib, paman Nabi, mengakui akan kebenaran islam namun hanya karena malu-jika tidak dikatakan gengsi, karena ia sebagai tokoh utama yang disegani masyarakat Quraisy pada waktu itu, hingga ia harus tetap meringkuk dalam kekafirannya. Realitas ini kiranya membuka peluang pada keangkuhan Fadhil tidak menerima cinta  Tiara karena kerakusan ego-nya dalam salah satu novel best sellernya Habiburrohman tidak cukup hanya dengan catatan viksi.
Pada persoalan ego yang terus berdampingan dengan perjalanan kehormatan ini, gengsi adalah keharusan-bila bukan disebut kebutuhan biologis. Hal ini karena mengingat para kaum pemuja gengsi seperti menjalani kematian sebelum mati saat tidak mendapat jatah pujian dalam kehidupannya. Keniscayaan gengsi merasuki egomanusia seolah tidak bisa dipungkiri. Manusia seakan harus terus memburu kehormatan, kewibawaan, prestise dan segala perangkat yang terkait dengan sanjungan, jika tidak ingin merasakan lukanya hinaan orang lain.
Mempertaruhkan nilai demi gengsi dan ego dengan dalih agar tidak tertindas kehinaan ini rupanya telah mewarnai berbagai lapisan sosial. Virus ini begitu cepat ter-akses dan langsung menyerang software manusia dengan halus, bahkan seperti tidak ada masalah  dalam bergelut dengan penyakit hati yang berupa gengsi ini. Padahal dalam insiden ini Hujjatul Islam al Imam al Ghazali menganggap gengsi adalah persoalan yang dapat merusak dan menghancurkan kehidupan manusia. Allah menggambarkan kebahagiaan yang digapai oleh kaum pemuja gengsi bersifat sementara. Seperti hijaunya tumbuhan saat disiram air hujan, sampai pada saatnya nanti  harus diseret musim kemarau dan dipaksa melepaskan warna hijaunya yang telah menyihir pandangan mata. Tumbuhan itu akan kering kerontang dan tak berharga lagi, karena memang itulah hakekatnya. Manusia terlahir dalam keadaan hina. Tak sehelai pakaian-pun yang menjadikan ia harus wibawa, apalagi dihormati orang lain. Kemudian hanya karena setitik nikmat Allah yang telah dikaruniakan hingga ia harus sedih saat orang lain menjadikan hina. Mungkin pertanyaan yang lugas untuk mereka sekalipun tidak membutuhkan jawaban dengan kata adalah : “apa yang anda dapati setelah dipuji orang lain bahwa anda orang hebat dan tegar?”. Kemudian, “Apa yang anda banggakan jika orang lain tidak mengetahui celah anda?” Apakah anda berarti tidak punya celah dalam kenyataannya? Apakah status “hina” yang Allah ciptakan dan sekaligus menjadi sifat manusia menjadi hilang dalam jiwa anda? Apakah anda mau jadi Tuhan? Bukankah hanya Allah yang tidak mempunyai sifat hina?”. Renungkan!
Dari realitas ini, bahwa manusia tercipta dalam keadaan hina, kaum pemburu kehormatan tentu tidak dapat dipungkiri harus menyandang title “sombong”. Mereka ingin menyandang status yang mestinya tidak ia miliki. Sifat sombong adalah hak Allah, sedangkan hina adalah milik manusia. Dan manusia yang memiliki kesombongan inilah kiranya oleh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan dianggap sebagai kekufuran. Semoga kita tidak termasuk orang yang kufur pada Allah, Amin!
Di samping kaum pemuja gengsi yang terus meng-anak-emaskan egonya dalam memburu kehormatan, pada perjalanan hidup ini ada juga aliran yang sangat bertolak belakang. Aliran ini orang – orang tashawuf menyebut dengan sebutan kaumMalamatiyah. Seperti dalam penjelasan imam Ghazali :
وأما من حيث العمل: فإسقاط الجاه عن قلوب الخلق بمباشرة أفعال يلام عليها حتى يسقط من أعين الخلق وتفارقه لذة القبول ويأنس بالخمول ويرد الخلق ويقنع بالقبول من الخالق. وهذا هو مذهب الملامتية  

Arti sederhana aliran ini adalah “kaum pencela diri”. Anggapan orang lain bahwa dirinya mulia di-klaim sebagai penghambat pada perjelanannya menuju Allah. Menurut mereka, kehormatan dan kewibawaan yang disandangnya adalah bahan bakar untuk menyulut bara kesombongan yang akhirnya menyeret mereka ke gerbang kenistaan yang jauh dengan kebahagiaan sempurna. Kebahagian sempurna versi mereka adalah kebahagiaan abadi, bukan kebahagiaan sementara seperti yang dilambangkan Allah dalat surat al Kahfi di atas.

Kaum Malamatiyah penekanannya pada persoalan hati. Nilai intuitivitas yang merupakan sumber dari aktivitas konkret terus ia evaluasi. Menurut mereka, aktivitaslahiriyah yang di-ekspresikan dalam kegiatan sehari-hari hanya sebuah ranting-ranting kecil yang menghiasi tumbuhan menjadi indah. Sedangkan hati adalah akar dan batangnya. Semua keindahan fisik, seperti mekar dan semerbaknya bunga yang menebarkan aroma, hijaunya daun yang dapat menakjubkan mata, gerakan mungil ranting saat diterpa angin, akan kuncup dan memudar ketika akar dan batang tidak beraktivitas. Seluruh keindahan yang dapat menyulap pandangan mata manusia menjadi terkesimak, akan kering, saat zat klorovil tidak dapat dihasilkan pada proses oksidasi biologi. Begitu juga, keindahan dan kesenangan lahiriyah, seperti pujian, kehormatan, kewibawaan, dan semua perangkat yang bermuara pada sanjungan hanya bagian kecil dari sebuah kinerja hati yang memproduk keinginan dan niat. Rasulullah SAW. bersabda : “Sesungguhnya dalam jasad manusia terdapat segumpal daging, yang apabila segumpal daging itu baik, maka baik pula seluruh tubuh itu. Dan apabila jelek maka jelek pula seluruh tubuh itu.”
Kaum Malamatiyah, selalu mencari kehormatan dihadapan Allah. Hinaan orang lain yang dirasakan mereka menjadi terapi untuk menata hati agar betul-betul menyadari kalau dirinya tercipta dalam keadaan hina. Bahkan dari berharganya nilai rendah diri ini pripsip mendasar bagi mereka bahwa : “ Bermaksiat pada Allah yang dapat ber-efek pada perasaan rendah-diri dan menyadari kalau dirinya hina serta butuh pada Allah adalah lebih baik dari pada beribadah pada Allah yang dapat menimbulkan bekas-rasa mulia, takabbur, serta merasa bahwa dirinya lebih baik dengan orang lain sebab ibadah yang ia lakukan”.
Jika kita sadar bahwa kita belum termasuk bagian dari kaum Malatiyah yang kadang teman dekat penulis menyatakan bahwa prinsip ini terlalu ideal untuk diterapkan zaman sekarang, maka minimal kita tidak terlalu masuk dalam perangkap pemuja gengsi yang berlebihan. Dan paling tidak kita menyadari bahwa pujian dan hinaan manusia bukan menjadi ukuran utama dalam menjalani kehidupan duniawi ini. Sehingga dalam beraktivitas kita tidak selalu menakar dengan pertimbangan ibadah yang diperuntukkan untuk menggapai acungan jempol manusia tapi demi kemurnian pengabdian yang tidak terjebak pada kesyirikan dalam beribadah. Dan sunggug Allah dapat menjadikan manusia menjadi hina, kemudian dapat menjadikan mulia lagi dalam sekejap jika Dia berkehendak. Wallahu a’lamu.

* Penulis adalah pemerhati kajian tasawuf dan sebagai penanggungjawab Forum Kajian Sosial Keislaman (FORKSOS) Fakultas Syari'ah IAI. Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

2 komentar: